SPIRITULISME
PENDIDIKAN IMAM GHAZALI
Makalah ini disusun sebagai Tugas Persentasi
pada Mata Kuliah Perbandingan
Pendidikan Islam Kontemporer
Dosen Pengampu :
DR.
Musun Hary, M.Ag
Disusun oleh :
Miswanto
NIM. 1481004
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015
A.
Pendahuluan
Sepanjang sejarah Islam
yaitu zaman Rasulullah hingga sekarang, Islam telah banyak melahirkan para
pemikir di bidang filsafat, kedokteran, sejarah, filsafat, tasawuf, sains,
pendidikan, dan lain sebagainya. Pemikiran mereka tersebut sebagai bukti bahwa
Islam sangatlah peduli terhadap lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Lahir
dan berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam dipergunakan sebagai tolok ukur
dan untuk menjawab persoalan pendidikan Barat yang kering akan nilai ketuhanan,
kemanusiaan, dan akhlak.
Dalam sejarah
pendidikan islam pada periode klasik bermunculan para filosofis-filosofis
islam. Dalam
makalah singkat ini, kita akan menyusuri pemikiran al-Ghazali tentang
spiritualisme pendidikan. Saya mengharapkan akan lahir kontribusi pemikiran
mengapresiasi sosok pemikir yang karyanya membanjiri "ladang-ladang
pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan.
Oleh karena itu makalah
ini akan membahas mengenai spiritualisme pendidikan Oleh Imam al-Ghazali.
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan
keilmuan kita. Kepada dosen pengampu dan teman-teman diharapkan untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kelengkapan pada
pembahasan tersebut.
B.
Spiritualisme
Pendidikan (Imam Ghozali)
Spiritualisme
pendidikan merupakan upaya imam Al-Ghazai dalam melaksanakan pendidikan akhlak
dan pembentukan karakter manusia yang mana telah beliau tuangkan kedalam kitab
Ihya’ Ulumuddin.
Konsepsi
pendidikan spiritualisme imam Al-Ghazali memiliki ide yang luas dan
komprehensif sehingga mencakup seluruh kehidupan manusia. Idenya tersebut
dibangun atas dasar ajaran ibadah al-‘adat (Muamalah), dan akhlak dalam arti
luas dan semuanya mengacu atas dasar pembentukan keharmonisan hubungan manusia
dengan Allah, sesama manusia dan lingkungan, serta dengan dirinya sendiri.
Hakikat dan perjuangan manusia di dunia dalam pandangan al-Ghazali tidak lain
adalah tekat dan daya usahanya untuk meninggikan akhlak, menyucikan jiwa, dan
meningkatkan kehidupan mental-spiritual dengan ilmu, iman, ibadah, adat dan
nilai-nilai yang baik agar manusia dapat mengenal, mendekat dan berjumpa dengan
Allah Swt. Hal ini selaras dengan pendapat yang ungkapkan oleh Astuti Rahmani,
tujuan secara umum pendidikan spiritual itu adalah menghubungkan kembali dari
pribadi kita dengan dimensi transpersonal dari keberadaan kita ini.[1]
1.
Riwayat
Hidup Imam Al-Ghazali
Imam Al Ghazali nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i lahir 450 H atau 1058 M di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran).[2]
Beliau berasal dari keluarga yang miskin.
Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim
dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat
Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan
manusia.[3]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di
tempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya
ia pergi Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan terpenting di dunia Islam pada saat itu. Dikota Nishafur inilah
al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramiah Abi Al-Ma’ali Al-Juwainy, seorang
ulama yang bermazhab Syafi’i yang menjadi guru besar di Nishafur.[4]
Sepeninggal gurunya al-Juwaini, al-Ghazali berkelana lagi bergelut dengan
dunia keilmuan. Ia perkgi ke daerah Muaskar dan bertemu dengan Nizam al-Mulk.
Nizam yang menjadi wazir di Daulah Abbasiyah menyamput baik dan menempatkan
al-Ghazali sebagai guru besari di Madrasah Nizamiyah –Baghdad yang telah
berdiri sejak 1065.[5]
Jabatan sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah ini menjadi awal bagi
al-Ghazali untuk menjadi ilmuan Islam yang terkenal di negeri Irak. Bahkan ia
disini ia mengkader seiktar 300-an siswa yang akan menjadi ulama. Bahkan,
kemasyhurannya hampir mengalahkan popularitas penguasa Abbasiyah.[6]
Setelah
empat tahun di Nizhamiyah, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan
meninggalkan Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam, hidup dalam Jami Umawi
dengan kehidupan total dipenuhi ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk
meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama.
Dari sana, ia kembali
ke Baghdad untuk kembali mengajar. Selain mengajar, ia juga rajin menulis buku
atau kitab. Kitab pertama yang dikarangnya adalah ”Al-Munqidz min al-Dhalal”.
Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan sibuk mengajar di
sana. Dalam waktu yang tidak lama setelah itu beliau meninggal di Thus kota
kelahiranya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau 1111 M[7]
Karena keahliannya di
berbagai bidang keilmuan, ia memperoleh banyak gelar kehormatan. Antara lain
ialah Hujjatul Islam “Pembela
Islam”, Zainuddin “Hiasan
Agama”, Bahrun Mughriq “Samudra
yang Menenggelamkan”, Syaikhul
Shuffiyyin “Guru Besar para Sufi”, Imamul
Murobbin “Pemimpin Para Pendidik”, dan sebagainya[8].
2.
Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali merupakan tokoh yang
sangat peduli dan memperhatikan pendidikan. Karena dengan pendidikanlah dapat
membentuk corak kehidupan bangsa. Kalau dilihat dari sejarah perjalanan
al-Ghazali, dia merupakan salah satu tokoh yang cara berfikirnya dianggap baik,
sistematis dan komprehensif dibandingkan dengan para tokoh-tokoh lain. Hal ini
dikarenakan sosok Ghazali merupakan seorang guru besar di Madrasah
Nizhamiyah yang juga sekaligus sebagai pemikir besar.
Pokok-pokok pemikiran al-Ghazali
terdapat dalam karyanya Ihya’ Ulumu
al-Din dan Ayyuhal Walad.[9]
Di dalam karyanya yang besar ini, Ihya’
Ulumu al-Din, beliau menulis tentang ilmu pendidikan. Disanalah beliau
menuliskan berbagai ilmu menurut hukumnya, ada ilmu yang dihukumkan fardhu
‘ain, dan ilmu yang dihukumkan fardhu kifayah. Pada dasarnya pokok-pokok
pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dapat diklasifikasikan kedalam tiga
hal. Pertama, penjelasan tentang
keutamaan ilmu. Kedua, penggolongan
ilmu pengetahuan. Ketiga, kewajiban-kewajiban
pokok bagi seorang guru dan murid/anak didik.
Untuk mengetahui pemikiran Al-Ghazali
ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami
pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan
pendidikan, diantaranya yaitu :
a.
Tujuan Pendidikan
Menurut Nizar,
al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan
merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan
mendekatkan diri kepada Allah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang
baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan mendapatkan
kebahagiaan dunia akhirat.[10]
Sulaiman dalam Nata dapat diketahui bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai
melalui kegiatan pendidikan yang dikonsepkan oleh al-Ghazali ada dua yaitu pertama,
tercapainya insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah Swt, dan
kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagian dunia dan
akhirat.[11]
Selanjutnya, Hasan dalam Kurniawan tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah
agar manusia berilmu. Bukan sekedar berilmu, melainkan ilmu yang diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Amalnya pun bukanlah untuk mendapatkan hal-ha
bersifat duniawi melainkan mencari ridha Allah Swt.[12]
Di
dalam buku Ihya’ Ulumuddin imam Ghazali mengatakan bahwa hidupnya hati dikarenakan
adanya ilmu dan hikmah, sebagaimana santapan jasad adalah makanan. Barang siapa
kehilangan ilmu, maka hatinya menjadi sakit dan kematian hati itu sudah pasti.
Tetapi orang yang terlalu mencintai dunia mereka tidak akan merasakannya.[13] Orang
yang ahli ilmu sudah pasti mereka akan berada di atas petunjuk Allah. Oleh
karena itu, kita dituntut untuk mencari pahala di dunia ini dengan menggunakan
ilmu. Sekligis ilmu tersebut akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan pendidikan di atas dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori, yaitu: 1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata
untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT; 2)
Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang terpuji; 3) Tujuan
pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.[14]
Perumusan tiga konsep ini selaras dengan hakikat pencipataan manusia oleh Allah
Swt. yakni beribadah kepada-Nya.
Tujuan
pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt. sebagaimana telah termaktub dalam firman-Nya:
وماخلقت
الجن والأنس إلا ليعبدون
Artinya: Tidak
Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada Ku. (Q.S.
adz-Zariyat: 56).
Berdasarkan ayat di atas, bahwa
semua perbuatan yang dikerjakan oleh manusia sebagai sarana pengabdian manusia
kepada Allah Swt. seperti di bidang pendidikan, teknologi, politik, dan
sebagainya. Pengabdian sebagai wujud kepatuhan terhadap Sang Pencipta yang
telah memberikan berbagai macam kenikmatan. Termasuk nikmat ilmu yang diperoleh
melalui pendidikan.
Pandangan
al-Ghazali di atas mengenai tujuan pendidikan berkaitan erat dengan dakwah
yakni menyebarkan ajaran Islam kepada umat manusia sebagaimana yang telah
dilaksanakan oleh Rasulullah di Mekkah dan Madinah. Dan juga pemikirannya
cenderung kepada sisi keruhanian yang sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang
bercorak tasawuf seperti kesempurnaan insan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan
tersebut diperoleh melalui proses pendidikan yang terdapat ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Rasulullah bersabda:
من
أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الأخيرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم
Artinya: Barang
siapa yang menghendaki dunia maka milikilah ilmu, dan barang siapa yang
menghendaki akhirat maka milikilah ilmu, dan barang siapa yang menghendaki
keduanya maka hendaklah ia berilmu. (H.R. Bukhari).
Selain
sebagai sarana beribadah kepada Allah Swt. al-Ghazali menekankan pada
pengamalan dari ilmu tersebut. Pengamalan sebagai bukti pengabdian kepada Allah
Swt. dan untuk mempercepat manusia memperoleh kebahagiaan di dunia hingga
akhirat kelak. Begitu juga sebaliknya, tanpa pengamalan akan mempersulitkan
individu itu sendiri.
Menurut
Aristoteles dalam Jalaluddin, bahwa agar orang dapat hidup maka ia harus
mendapat pendidikan. Pendidikan yang baik itu mempunyai tujuan untuk
kebahagiaan.[15]
Pemikiran ini selaras apa yang telah dikemukan oleh al-Ghazali. Hanya saja
Aristoteles tidak menyebutkan secara rinci apakah mencakup kebahagiaan di
akhirat.
b.
Kurikulum dan Klasifikasi Ilmu
Pengetahuan
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali
memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika. Selain itu Al-Ghazali
juga menekankan sisi-sisi budaya. Ia menjelaskan kenikmatan ilmu dan
kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan diluar
hakikatnya, tetapi karena hakikatnya itu sendiri. Mata pelajaran yang
seharusnya diajarkan dan masuk dalam
kurikulum harus didasarkan pada dua kecenderunagn, yaitu : 1)
Kecenderungan agama dan tasawuf. 2) kecenderunagn pragmatis, yaitu pemanfaatan
yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah SWT. Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi.
Mengenai klasifikasi pengetahuan, al-Ghazali
membaginya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan jenisnya; ilmu-ilmu
pokok yang mencakup al-Qur’an dan Hadits; ilmu-ilmu furu’; ilmu-ilmu pengantar
(bantu) yang mencakup ilmu bahasa; dan ilmu-ilmu pelengkap seperti al-qiraat
dan tafsir. Kedua, berdasarkan nilainya: ilmu-ilmu yang terpuji seluruhnya,
yaitu ilmu agama. Karena ilmu-ilmu ini mensucikan jiwa dan mendekatkan diri
kepada Allah Swt.; ilmu-ilmu yang tercela seluruhnya, yaitu ilmu-ilmu yang
tidak dapat diharapkan manfaatnya di dunia dan akhirat, seperti sihir,
astrologi, atau perbintangan; dan ilmu-ilmu yang jika dipelajari sedikit
termasuk ilmu terpuji, tetapi ketika dipelajari secara mendalam termasuk ilmu
tercela, karena dapat membawa kekufuran seperti ilmu filsafat. Ketiga, berdasarkan
hukumnya, yaitu fardhu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu agama, karena dianggap
sebagai dasar-dasar mengetahui Allah Swt.; dan fardhu kifayah, seperti
Matematika, kedokteran, dan keterampilan. Sedangkan Nata menjelaskan bahwa
pandangan al-Ghazali dalam membagi ilmu pengetahun menjadi tiga kategori besar,
yaitu yaitu: 1) Ilmu yang tercela yang
tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan
lain sebagainya; 2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud)
yang meliputi ilmu yang fardhu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya
fardhu kifayah untuk dipelajari; dan 3) Ilmu terpuji dalam kadar
tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti
ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.[16]
Pertama, ilmu-ilmu tercela.
Ilmu ini tidak ada manfaatnya baik di dunia dan akhirat dan terkadang hanya
membawa bencana bagi yang memilikinya maupun orang lain. Misalnya ilmu sihir
yang dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam,
permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi
menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu
nujum berdasarkan istidhlaly. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan
mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui
letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini berkaitan erat dengan peribadatan dan
macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardhu
‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah Swt.,
ibadah pokok, hingga ilmu syari’at. Sedangkan yang fardhu kifayah adalah
semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti
ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain.
Ketiga,
ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika
mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan
terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat
membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat.[17]
Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua
orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik.
Pandangan al-Ghazali ini di atas pada prinsipnya
al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dan
cabang-cabangnya. Peserta didik dan pendidik diutamakan mempelajari agama
sebagai dasar atau pijakan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Dan
dilanjutkan dengan mempelajari ilmu pendukung seperti Matemaika, Fisika, dan
Kedokteran. Bagi al-Ghazali, agama sangat erat dengan kehidupan akhirat. Sedangkan
ilmu terapan untuk kepentingan dunia.
Al-Ghazali dalam pemikirannya lebih cenderung pada
agama dan tasawuf, dan cenderung pragmatis teologis.[18]
Ia menempatkan ilmu-ilmu agama di atas semuanya dan dipenuhi unsur tasawuf
yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan ilmu agama menjadi sumber pokok
pendidikan akhlak. Selanjutnya, beliau menekankan pada sisi manfaat dari ilmu
(pragmatisme) seperti ilmu agama untuk keselamatan di dunia dan akhirat dan
ilmu nujum boleh digunakan untuk menetapkan arah kiblat. Sebagaimana aliran
pragmatisme yang dipelopori oleh Charles Sandre Peirce Pierce menegaskan bahwa
pengetahuan itu shahih, jika proporsinya memiliki konsekuensi-konsekuensi
kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Yang
membedakan pemikiran al-Ghazali dengan aliran pragmatisme di Amerika yang
menganut pragmatis naturalis. Sedangkan al-Ghazali sebagai penganut pragmatis
teologis.
Menurut H.M. Arifin dalam Nata mengatakan bila
dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang
konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya.[19]
Idealis al-Ghazali terlihat pada pengutamaan ilmu agama dibandingkan dengan
ilmu pendukung lainnya
c.
Metode
Menurut
al-Ghazali, metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu
sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. Pertama, ilmu kasbi
dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang
dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian,
percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’lim
insani. Kedua, ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu
dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses
pencerahan oleh hadirnya cahaya Tuhan dalam qalbu, yang mana
memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Pandangan
al-Ghazali di atas cenderung pada paham empirisime dan intuisi. Manusia dapat
memperoleh ilmu melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan, dan penemuan
yang cenderung pada paham empirisme. Ilmu dapat diperoleh melalui proses
pencerahan oleh hadirnya Tuhan dalam qalbu yang disebut dengan paham
intuisi.
Selain
itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang
dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi
hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar
hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan
pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan
punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali
menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward
and punishment-nya. Di samping itu, ia juga mengelaborasi dengan
pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak
didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia.
Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap
lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak
kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah
pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan
adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi,
yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode
pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.[20]
Pandangan
al-Ghazali di atas dapat membuka cakrawala berpikir bagi para pendidik tentang
penting keteladanan dan motivasi belajar peserta didik. Keteladanan dapat
diwujudkan dengan kapabilitas pendidik yakni kesamaan ucapan dan perbuatan
seperti yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai suri teladan
bagi umat manusia. Sikap dan tingkah laku yang ditampilkan oleh pendidik
sebagai konten belajar yang diperoleh melalui proses asimilasi dan sosialisasi
yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian peserta didik. Karena teladan
merupakan alat pendidikan yang paling utama dalam pembentukan situasi peserta
didik.
Pahala
dan dosa sebagai salah satu alat pendidikan yang dibawa oleh Rasululah tentulah
memiliki pengaruh terhadap keinginan peserta didik untuk berubah ke arah
positif dan termotivasi untuk selalu melakukan kebaikan. Hal yang menarik dari
pemikiran al-Ghazali adalah tsawab (pahala) dan uqubah (dosa)
yang identik dengan ajaran agama. Berbeda dengan Barat yang lebih cenderung
kepada kebendaan yang bersifat sementara. Sedangkan pahala dan dosa bersifat
abadi hingga dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Sehingga motivasi
seperti ini mempunyai efek yang sangat
mendalam dan membekas dalam jiwa.
d.
Kriteria Guru yang Baik
Menurut
al-Ghazali, karena mengajar ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang
yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih
payah mengajarnya. Seorang guru harus meniru Rasulullah Saw. yang mengajar ilmu
hanya karena Allah Swt., sehingga dengan mengajar itu dapat mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Baginya, ini berlaku di satu tempat dan ilmu yang
diajarkannya terbatas dan tanpa memerlukan keahlian khusus. Namun jika guru
datang dari tempat yang jauh, semua sarana yang mendukung harus dibeli dengan
dana yang besar, maka akan sulit
dilakukan kegiatan pembelajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan
kesejahteraan yang memadai.[21]
Upah yang diperoleh oleh guru adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang
mengamalkan ilmu yang diajarkannya.[22]
Pemberian
upah kepada pendidik sebenarnya sudah dilakukan pada masa Khalifah Umar yang
pada waktu itu, negara mengeluarkan upah
kepada pendidik yang disebarkan di daerah yang ditaklukkannya. Zaman sekarang,
guru sudah dianggap sebagai profesi artinya mereka mendapatkan hak dari profesi
yang ia jalani berupa gaji. Sebagaimana Undang-undang Guru dan Dosen No. 14
Tahun 2005 Pasal 14 bahwa dalam melaksanakan tugas profesionalan, guru berhak
memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial. Dan dilanjutkan Pasal 15 dijelaskan bahwa kebutuhan hidup
minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan
khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang
ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Pemerintah khusus
Indonesia telah menyadari bahwa guru sebagai profesi harus diberikan
kesejahteraan karena peran mereka sangat penting dalam membentuk kepribadian
anak didik yang cerdas, terampil, dan bermasyarakat.
Menurut
al-Ghazali, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat
intelektual dan daya tangkap anak didiknya serta harus memiliki prinsip
mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki anak didik.[23]
Memperhatikan psikologis anak didik sangat diperlukan dalam pembelajaran,
karena hal tersebut sangat menguntungkan bagi pendidik dan anak didik sehingga
anak didik mudah menerima ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Banyak
guru kurang memahami artinya pentingnya memperhatikan psikologi anak didik
sehingga guru tersebut mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran
dalam lingkup kecil.
Mengenai
potensi al-Ghazali berpendapat bahwa anak adalah masih suci dan kosong, ia
selalu menerima apapun yang ditanamkan kepadanya.[24]
Pendapat ini, 13 abad kemudian dikembangkan oleh filsuf Inggris John Locke
(1704-1932) menjadi teori “tabula rasa” atau “optimisme pedagogis”. “Tabula rasa”, yakni anak lahir di dunia
bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari
lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Pengalaman
yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya
yang berupa stimulant-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun
diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Pendapat
di atas juga dikuatkan oleh tokoh pendidikan Indonesia, M. Arifin bahwa Dalam
masalah pendidikan, al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini
antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap
peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan siapa
yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang amat
berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[25]
Bagi al-Ghazali, jika anak didik ditransfer oleh guru dengan hal-hal yang baik
dan dikuatkan dengan keteladanan guru maka anak tersebut akan baik. Sebaliknya,
Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu
akan berakhlak tercela.
Apabila dikaji secara
umum, konsep pendidikan spiritual al-Ghazali ini bertujuan untuk mengatasi
krisis moral, akhlak, etika dan mental spiritual, sehingga manusia mampu
memperoleh dan merasakan kembali nikmat kebahagiaan, kesempurnaan jiwa dan
ketinggian akhlak serta mampu bertindak proporsional dalam menjalankan hidup.
C.
Kesimpulan
Konsepsi pendidikan
spiritualisme imam Al-Ghazali mencakup seluruh kehidupan manusia. Idenya
tersebut dibangun atas dasar ajaran ibadah al-‘adat
(Muamalah), dan akhlak dalam arti luas dan semuanya mengacu atas dasar
pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan
lingkungan, serta dengan dirinya sendiri. Hakikat dan perjuangan manusia di
dunia dalam pandangan al-Ghazali tidak lain adalah tekat dan daya usahanya
untuk meninggikan akhlak, menyucikan jiwa, dan meningkatkan kehidupan
mental-spiritual dengan ilmu, iman, ibadah, adat dan nilai-nilai yang baik agar
manusia dapat mengenal, mendekat dan berjumpa dengan Allah Swt.
Pokok-pokok pemikiran al-Ghazali
terdapat dalam karyanya Ihya’ Ulumu
al-Din. Di dalam karyanya yang besar ini, Ihya’ Ulumu al-Din, beliau menulis tentang ilmu pendidikan.
Disanalah beliau menuliskan berbagai ilmu menurut hukumnya, ada ilmu yang
dihukumkan fardhu ‘ain, dan ilmu yang dihukumkan fardhu kifayah. Pada dasarnya
pokok-pokok pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dapat diklasifikasikan
kedalam tiga hal. Pertama, penjelasan
tentang keutamaan ilmu. Kedua, penggolongan
ilmu pengetahuan. Ketiga, kewajiban-kewajiban
pokok bagi seorang guru dan murid/anak didik.
Pokok-pokok pemikiran al-Ghazali
terdapat dalam karyanya Ihya’ Ulumu
al-Din Di dalam karyanya yang besar ini, Ihya’ Ulumu al-Din, beliau menulis tentang ilmu pendidikan.
Disanalah beliau menuliskan berbagai ilmu menurut hukumnya, ada ilmu yang
dihukumkan fardhu ‘ain, dan ilmu yang dihukumkan fardhu kifayah. Konsep pendidikan yang dikembangkan al-Ghazali
mencakup lima aspek, yaitu aspek pendidikan jasmani,aspek pendidikan akhlak,
pendidikan akal, dan aspek pendidikan sosial, yang kesemuanya harus ditanamkan
pada anak sejak usia dini.
Daftar
Pustaka
Afandi, Safuan, Ihya’ Ulumuddiin Al-Ghazali, Solo :
Sendang Ilmu
Anwar,
Chairul, 2007, Reformasi Pemikiran
Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Fakta Pers, Bandar Lampung
Al-Rasyidin dan
Samsul Nizar, 2005, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: PT Ciputat Press Group Cet. Ke-2
Dunya, Sulaiman,
1971, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind
al-Ghazali, Kairo: Dar al-Ma’arif
Jalaluddin, dan
Abdullah Idi, 2013, Filsafat Pendidikan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kurniawan,
Samsul dan Erwin Mahrus, 2011, Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
Mahmud, 2011,
Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung :
Pustaka Setia
Nata, Abuddin, 2001,
Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta : RajaGrafindo Persada
Nata, Abuddin,
1997, Filsafat Pendidikan Islam Jilid I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu
Nizar, Samsul,
MA, 2001, Pengantar Dasar-dasar Pmekiran
Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Rahmani, Astuti,
2005, Membangkitkan Kesadaran Spiritual, Bandung
: Pustaka Hidayah
Sibawaihi, 2004,
Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Yogyakarta:
Islamika
Sulaiman,
Fathiyah Hasan, 1986, Konsep
Pendidikan Al-Ghazali, terj oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta : Guna Aksara
[1]Astuti Rahmani, 2005, Membangkitkan Kesadaran Spiritual, Bandung
: Pustaka Hidayah, hal. 18
[2] Chairul Anwar, Reformasi
Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Fakta Pers, Bandar Lampung, 2007, hlm.1
[4]Samsul Kurniawan dan Erwin
Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, Hal 87
[7]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali,
terj oleh Ahmad Hakim dan
M. Imam Aziz, Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 16, lihat juga al-Rasyidin dan
Wahyudin nur Nasution, hal. 73
[8]Syamsul Kurniawan
dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 88
[9]Samsul Kurniawan dan Erwin
Mahrus, , Jejak Pemikiran Tokoh
Pendidikan Islam, hal. 89
[10]Samsul
Nizar, 2001. Pengantar Dasar-dasar Pmekiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 87
[11]Abuddin Nata.
2001,
Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo
Persada, hal. 86
[12]Syamsul
Kurniawan, dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, hal. 90
[13]Safuan Afandi, Ihya’ Ulumuddiin Al-Ghazali, Solo :
Sendang Ilmu, hal. 31
[14]Samsul Nizar, 2001. Pengantar
Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 87
[16]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 94
[17]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 88-91
[18]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 93
[19]Abudin Nata, 1997, Filsafat Pendidikan Islam Jilid I, Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, hal. 161
[20]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran
para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 95
[21]Abuddin Nata, 2001, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 96-97
[22]Syamsul Kurniawan, dan Erwin
Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal. 93
[23]Abuddin Nata, 2001, Pemikiran
para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 97- 98
[24]Syamsul Kurniawan, dan Erwin
Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal. 92
[25]Abudin Nata, 1997, Filsafat Pendidikan Islam Jilid I, hal.
161
Jangan Lupa Komen Untuk Perbaikan Blog dimasa Mendatang
BalasHapusCasino site | Lucky Club Lucky Club
BalasHapusLucky Club offers the luckyclub.live best sports betting and casino games online, with exciting odds, a range of slots, and a range of table and live games.Events · Promotions · FAQ · Overall reviews