Minggu, 29 November 2015

Spiritualisme Pendidikan Imam Ghazali

SPIRITULISME PENDIDIKAN IMAM GHAZALI


UIN RF

Makalah ini disusun sebagai Tugas Persentasi
pada Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan Islam Kontemporer


Dosen Pengampu : DR. Musun Hary, M.Ag
Disusun oleh :
Miswanto
NIM. 1481004




PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015

A.      Pendahuluan
Sepanjang sejarah Islam yaitu zaman Rasulullah hingga sekarang, Islam telah banyak melahirkan para pemikir di bidang filsafat, kedokteran, sejarah, filsafat, tasawuf, sains, pendidikan, dan lain sebagainya. Pemikiran mereka tersebut sebagai bukti bahwa Islam sangatlah peduli terhadap lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam dipergunakan sebagai tolok ukur dan untuk menjawab persoalan pendidikan Barat yang kering akan nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan akhlak.
Dalam sejarah pendidikan islam pada periode klasik bermunculan para filosofis-filosofis islam. Dalam makalah singkat ini, kita akan menyusuri pemikiran al-Ghazali tentang spiritualisme pendidikan. Saya mengharapkan akan lahir kontribusi pemikiran mengapresiasi sosok pemikir yang karyanya membanjiri "ladang-ladang pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan.
Oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai spiritualisme pendidikan Oleh Imam al-Ghazali. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan keilmuan kita. Kepada dosen pengampu dan teman-teman diharapkan untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kelengkapan pada pembahasan tersebut.
B.       Spiritualisme Pendidikan (Imam Ghozali)
Spiritualisme pendidikan merupakan upaya imam Al-Ghazai dalam melaksanakan pendidikan akhlak dan pembentukan karakter manusia yang mana telah beliau tuangkan kedalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
Konsepsi pendidikan spiritualisme imam Al-Ghazali memiliki ide yang luas dan komprehensif sehingga mencakup seluruh kehidupan manusia. Idenya tersebut dibangun atas dasar ajaran ibadah al-‘adat (Muamalah), dan akhlak dalam arti luas dan semuanya mengacu atas dasar pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan lingkungan, serta dengan dirinya sendiri. Hakikat dan perjuangan manusia di dunia dalam pandangan al-Ghazali tidak lain adalah tekat dan daya usahanya untuk meninggikan akhlak, menyucikan jiwa, dan meningkatkan kehidupan mental-spiritual dengan ilmu, iman, ibadah, adat dan nilai-nilai yang baik agar manusia dapat mengenal, mendekat dan berjumpa dengan Allah Swt. Hal ini selaras dengan pendapat yang ungkapkan oleh Astuti Rahmani, tujuan secara umum pendidikan spiritual itu adalah menghubungkan kembali dari pribadi kita dengan dimensi transpersonal dari keberadaan kita ini.[1]
1.      Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Imam Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i lahir 450 H atau 1058 M di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran).[2] Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.[3]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di tempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam pada saat itu. Dikota Nishafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramiah Abi Al-Ma’ali Al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi’i yang menjadi guru besar di Nishafur.[4]
Sepeninggal gurunya al-Juwaini, al-Ghazali berkelana lagi bergelut dengan dunia keilmuan. Ia perkgi ke daerah Muaskar dan bertemu dengan Nizam al-Mulk. Nizam yang menjadi wazir di Daulah Abbasiyah menyamput baik dan menempatkan al-Ghazali sebagai guru besari di Madrasah Nizamiyah –Baghdad yang telah berdiri sejak 1065.[5]  Jabatan sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah ini menjadi awal bagi al-Ghazali untuk menjadi ilmuan Islam yang terkenal di negeri Irak. Bahkan ia disini ia mengkader seiktar 300-an siswa yang akan menjadi ulama. Bahkan, kemasyhurannya hampir mengalahkan popularitas penguasa Abbasiyah.[6] Setelah empat tahun di Nizhamiyah, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalkan Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam, hidup dalam Jami Umawi dengan kehidupan total dipenuhi ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama.
Dari sana, ia kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar. Selain mengajar, ia juga rajin menulis buku atau kitab. Kitab pertama yang dikarangnya adalah ”Al-Munqidz min al-Dhalal”. Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan sibuk mengajar di sana. Dalam waktu yang tidak lama setelah itu beliau meninggal di Thus kota kelahiranya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau 1111 M[7]
Karena keahliannya di berbagai bidang keilmuan, ia memperoleh banyak gelar kehormatan. Antara lain ialah Hujjatul Islam  “Pembela Islam”, Zainuddin “Hiasan Agama”, Bahrun Mughriq “Samudra yang Menenggelamkan”, Syaikhul Shuffiyyin “Guru Besar para Sufi”, Imamul Murobbin “Pemimpin Para Pendidik”, dan sebagainya[8].
2.      Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali merupakan tokoh yang sangat peduli dan memperhatikan pendidikan. Karena dengan pendidikanlah dapat membentuk corak kehidupan bangsa. Kalau dilihat dari sejarah perjalanan al-Ghazali, dia merupakan salah satu tokoh yang cara berfikirnya dianggap baik, sistematis dan komprehensif dibandingkan dengan para tokoh-tokoh lain. Hal ini dikarenakan sosok Ghazali merupakan seorang guru besar di Madrasah Nizhamiyah yang juga sekaligus sebagai pemikir besar.
Pokok-pokok pemikiran al-Ghazali terdapat dalam karyanya Ihya’ Ulumu al-Din dan Ayyuhal Walad.[9] Di dalam karyanya yang besar ini, Ihya’ Ulumu al-Din, beliau menulis tentang ilmu pendidikan. Disanalah beliau menuliskan berbagai ilmu menurut hukumnya, ada ilmu yang dihukumkan fardhu ‘ain, dan ilmu yang dihukumkan fardhu kifayah. Pada dasarnya pokok-pokok pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dapat diklasifikasikan kedalam tiga hal. Pertama, penjelasan tentang keutamaan ilmu. Kedua, penggolongan ilmu pengetahuan. Ketiga, kewajiban-kewajiban pokok bagi seorang guru dan murid/anak didik.
Untuk mengetahui pemikiran Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, diantaranya yaitu :
a.       Tujuan Pendidikan
Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan  merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.[10] Sulaiman dalam Nata dapat diketahui bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yang dikonsepkan oleh al-Ghazali ada dua yaitu pertama, tercapainya insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah Swt, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagian dunia dan akhirat.[11] Selanjutnya, Hasan dalam Kurniawan tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah agar manusia berilmu. Bukan sekedar berilmu, melainkan ilmu yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Amalnya pun bukanlah untuk mendapatkan hal-ha bersifat duniawi melainkan mencari ridha Allah Swt.[12]
Di dalam buku Ihya’ Ulumuddin imam Ghazali mengatakan bahwa hidupnya hati dikarenakan adanya ilmu dan hikmah, sebagaimana santapan jasad adalah makanan. Barang siapa kehilangan ilmu, maka hatinya menjadi sakit dan kematian hati itu sudah pasti. Tetapi orang yang terlalu mencintai dunia mereka tidak akan merasakannya.[13] Orang yang ahli ilmu sudah pasti mereka akan berada di atas petunjuk Allah. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mencari pahala di dunia ini dengan menggunakan ilmu. Sekligis ilmu tersebut akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan  pendidikan di atas dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: 1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT; 2) Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang terpuji; 3) Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[14] Perumusan tiga konsep ini selaras dengan hakikat pencipataan manusia oleh Allah Swt. yakni beribadah kepada-Nya.
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. sebagaimana telah termaktub dalam firman-Nya:
وماخلقت الجن والأنس إلا ليعبدون
Artinya: Tidak Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada Ku. (Q.S. adz-Zariyat: 56).

Berdasarkan ayat di atas, bahwa semua perbuatan yang dikerjakan oleh manusia sebagai sarana pengabdian manusia kepada Allah Swt. seperti di bidang pendidikan, teknologi, politik, dan sebagainya. Pengabdian sebagai wujud kepatuhan terhadap Sang Pencipta yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan. Termasuk nikmat ilmu yang diperoleh melalui pendidikan.
Pandangan al-Ghazali di atas mengenai tujuan pendidikan berkaitan erat dengan dakwah yakni menyebarkan ajaran Islam kepada umat manusia sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah di Mekkah dan Madinah. Dan juga pemikirannya cenderung kepada sisi keruhanian yang sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak tasawuf seperti kesempurnaan insan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan tersebut diperoleh melalui proses pendidikan yang terdapat ilmu pengetahuan. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الأخيرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم
Artinya: Barang siapa yang menghendaki dunia maka milikilah ilmu, dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka milikilah ilmu, dan barang siapa yang menghendaki keduanya maka hendaklah ia berilmu. (H.R. Bukhari).

Selain sebagai sarana beribadah kepada Allah Swt. al-Ghazali menekankan pada pengamalan dari ilmu tersebut. Pengamalan sebagai bukti pengabdian kepada Allah Swt. dan untuk mempercepat manusia memperoleh kebahagiaan di dunia hingga akhirat kelak. Begitu juga sebaliknya, tanpa pengamalan akan mempersulitkan individu itu sendiri.
Menurut Aristoteles dalam Jalaluddin, bahwa agar orang dapat hidup maka ia harus mendapat pendidikan. Pendidikan yang baik itu mempunyai tujuan untuk kebahagiaan.[15] Pemikiran ini selaras apa yang telah dikemukan oleh al-Ghazali. Hanya saja Aristoteles tidak menyebutkan secara rinci apakah mencakup kebahagiaan di akhirat.
b.         Kurikulum dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika. Selain itu Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya. Ia menjelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan diluar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya itu sendiri. Mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk dalam  kurikulum harus didasarkan pada dua kecenderunagn, yaitu : 1) Kecenderungan agama dan tasawuf. 2) kecenderunagn pragmatis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah SWT. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi.
Mengenai klasifikasi pengetahuan, al-Ghazali membaginya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan jenisnya; ilmu-ilmu pokok yang mencakup al-Qur’an dan Hadits; ilmu-ilmu furu’; ilmu-ilmu pengantar (bantu) yang mencakup ilmu bahasa; dan ilmu-ilmu pelengkap seperti al-qiraat dan tafsir. Kedua, berdasarkan nilainya: ilmu-ilmu yang terpuji seluruhnya, yaitu ilmu agama. Karena ilmu-ilmu ini mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.; ilmu-ilmu yang tercela seluruhnya, yaitu ilmu-ilmu yang tidak dapat diharapkan manfaatnya di dunia dan akhirat, seperti sihir, astrologi, atau perbintangan; dan ilmu-ilmu yang jika dipelajari sedikit termasuk ilmu terpuji, tetapi ketika dipelajari secara mendalam termasuk ilmu tercela, karena dapat membawa kekufuran seperti ilmu filsafat. Ketiga, berdasarkan hukumnya, yaitu fardhu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu agama, karena dianggap sebagai dasar-dasar mengetahui Allah Swt.; dan fardhu kifayah, seperti Matematika, kedokteran, dan keterampilan. Sedangkan Nata menjelaskan bahwa pandangan al-Ghazali dalam membagi ilmu pengetahun menjadi tiga kategori besar, yaitu  yaitu: 1) Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya; 2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud)  yang meliputi ilmu yang fardhu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardhu kifayah untuk dipelajari; dan 3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.[16]
Pertama, ilmu-ilmu tercela. Ilmu ini tidak ada manfaatnya baik di dunia dan akhirat dan terkadang hanya membawa bencana bagi yang memilikinya maupun orang lain. Misalnya ilmu sihir yang dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidhlaly. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini berkaitan erat dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardhu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah Swt., ibadah pokok, hingga ilmu syari’at. Sedangkan yang fardhu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat.[17] Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik.
Pandangan al-Ghazali ini di atas pada prinsipnya al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dan cabang-cabangnya. Peserta didik dan pendidik diutamakan mempelajari agama sebagai dasar atau pijakan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Dan dilanjutkan dengan mempelajari ilmu pendukung seperti Matemaika, Fisika, dan Kedokteran. Bagi al-Ghazali, agama sangat erat dengan kehidupan akhirat. Sedangkan ilmu terapan untuk kepentingan dunia.
Al-Ghazali dalam pemikirannya lebih cenderung pada agama dan tasawuf, dan cenderung pragmatis teologis.[18] Ia menempatkan ilmu-ilmu agama di atas semuanya dan dipenuhi unsur tasawuf yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan ilmu agama menjadi sumber pokok pendidikan akhlak. Selanjutnya, beliau menekankan pada sisi manfaat dari ilmu (pragmatisme) seperti ilmu agama untuk keselamatan di dunia dan akhirat dan ilmu nujum boleh digunakan untuk menetapkan arah kiblat. Sebagaimana aliran pragmatisme yang dipelopori oleh Charles Sandre Peirce Pierce menegaskan bahwa pengetahuan itu shahih, jika proporsinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Yang membedakan pemikiran al-Ghazali dengan aliran pragmatisme di Amerika yang menganut pragmatis naturalis. Sedangkan al-Ghazali sebagai penganut pragmatis teologis.
Menurut H.M. Arifin dalam Nata mengatakan bila dipandang dari segi filosofis, al-Ghazali adalah penganut faham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya.[19] Idealis al-Ghazali terlihat pada pengutamaan ilmu agama dibandingkan dengan ilmu pendukung lainnya
c.         Metode
Menurut al-Ghazali, metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. Pertama, ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’lim insani. Kedua, ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya Tuhan dalam qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Pandangan al-Ghazali di atas cenderung pada paham empirisime dan intuisi. Manusia dapat memperoleh ilmu melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan, dan penemuan yang cenderung pada paham empirisme. Ilmu dapat diperoleh melalui proses pencerahan oleh hadirnya Tuhan dalam qalbu yang disebut dengan paham intuisi.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Di samping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting dalam pandangannya.[20]
Pandangan al-Ghazali di atas dapat membuka cakrawala berpikir bagi para pendidik tentang penting keteladanan dan motivasi belajar peserta didik. Keteladanan dapat diwujudkan dengan kapabilitas pendidik yakni kesamaan ucapan dan perbuatan seperti yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai suri teladan bagi umat manusia. Sikap dan tingkah laku yang ditampilkan oleh pendidik sebagai konten belajar yang diperoleh melalui proses asimilasi dan sosialisasi yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian peserta didik. Karena teladan merupakan alat pendidikan yang paling utama dalam pembentukan situasi peserta didik.
Pahala dan dosa sebagai salah satu alat pendidikan yang dibawa oleh Rasululah tentulah memiliki pengaruh terhadap keinginan peserta didik untuk berubah ke arah positif dan termotivasi untuk selalu melakukan kebaikan. Hal yang menarik dari pemikiran al-Ghazali adalah tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) yang identik dengan ajaran agama. Berbeda dengan Barat yang lebih cenderung kepada kebendaan yang bersifat sementara. Sedangkan pahala dan dosa bersifat abadi hingga dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Sehingga motivasi seperti ini  mempunyai efek yang sangat mendalam dan membekas dalam jiwa.
d.        Kriteria Guru yang Baik
Menurut al-Ghazali, karena mengajar ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payah mengajarnya. Seorang guru harus meniru Rasulullah Saw. yang mengajar ilmu hanya karena Allah Swt., sehingga dengan mengajar itu dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Baginya, ini berlaku di satu tempat dan ilmu yang diajarkannya terbatas dan tanpa memerlukan keahlian khusus. Namun jika guru datang dari tempat yang jauh, semua sarana yang mendukung harus dibeli dengan dana  yang besar, maka akan sulit dilakukan kegiatan pembelajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.[21] Upah yang diperoleh oleh guru adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.[22]
Pemberian upah kepada pendidik sebenarnya sudah dilakukan pada masa Khalifah Umar yang pada waktu itu,  negara mengeluarkan upah kepada pendidik yang disebarkan di daerah yang ditaklukkannya. Zaman sekarang, guru sudah dianggap sebagai profesi artinya mereka mendapatkan hak dari profesi yang ia jalani berupa gaji. Sebagaimana Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 Pasal 14 bahwa dalam melaksanakan tugas profesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Dan dilanjutkan Pasal 15 dijelaskan bahwa kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Pemerintah khusus Indonesia telah menyadari bahwa guru sebagai profesi harus diberikan kesejahteraan karena peran mereka sangat penting dalam membentuk kepribadian anak didik yang cerdas, terampil, dan bermasyarakat.
Menurut al-Ghazali, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya serta harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki anak didik.[23] Memperhatikan psikologis anak didik sangat diperlukan dalam pembelajaran, karena hal tersebut sangat menguntungkan bagi pendidik dan anak didik sehingga anak didik mudah menerima ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Banyak guru kurang memahami artinya pentingnya memperhatikan psikologi anak didik sehingga guru tersebut mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran dalam lingkup kecil.
Mengenai potensi al-Ghazali berpendapat bahwa anak adalah masih suci dan kosong, ia selalu menerima apapun yang ditanamkan kepadanya.[24] Pendapat ini, 13 abad kemudian dikembangkan oleh filsuf Inggris John Locke (1704-1932) menjadi teori “tabula rasa” atau “optimisme pedagogis”. “Tabula rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulant-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Pendapat di atas juga dikuatkan oleh tokoh pendidikan Indonesia, M. Arifin bahwa Dalam masalah pendidikan, al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap peserta didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan siapa yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[25] Bagi al-Ghazali, jika anak didik ditransfer oleh guru dengan hal-hal yang baik dan dikuatkan dengan keteladanan guru maka anak tersebut akan baik. Sebaliknya, Sebaliknya, jika anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak tercela.
Apabila dikaji secara umum, konsep pendidikan spiritual al-Ghazali ini bertujuan untuk mengatasi krisis moral, akhlak, etika dan mental spiritual, sehingga manusia mampu memperoleh dan merasakan kembali nikmat kebahagiaan, kesempurnaan jiwa dan ketinggian akhlak serta mampu bertindak proporsional dalam menjalankan hidup.

C.      Kesimpulan
Konsepsi pendidikan spiritualisme imam Al-Ghazali mencakup seluruh kehidupan manusia. Idenya tersebut dibangun atas dasar ajaran ibadah al-‘adat (Muamalah), dan akhlak dalam arti luas dan semuanya mengacu atas dasar pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan lingkungan, serta dengan dirinya sendiri. Hakikat dan perjuangan manusia di dunia dalam pandangan al-Ghazali tidak lain adalah tekat dan daya usahanya untuk meninggikan akhlak, menyucikan jiwa, dan meningkatkan kehidupan mental-spiritual dengan ilmu, iman, ibadah, adat dan nilai-nilai yang baik agar manusia dapat mengenal, mendekat dan berjumpa dengan Allah Swt.
Pokok-pokok pemikiran al-Ghazali terdapat dalam karyanya Ihya’ Ulumu al-Din. Di dalam karyanya yang besar ini, Ihya’ Ulumu al-Din, beliau menulis tentang ilmu pendidikan. Disanalah beliau menuliskan berbagai ilmu menurut hukumnya, ada ilmu yang dihukumkan fardhu ‘ain, dan ilmu yang dihukumkan fardhu kifayah. Pada dasarnya pokok-pokok pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan dapat diklasifikasikan kedalam tiga hal. Pertama, penjelasan tentang keutamaan ilmu. Kedua, penggolongan ilmu pengetahuan. Ketiga, kewajiban-kewajiban pokok bagi seorang guru dan murid/anak didik.
Pokok-pokok pemikiran al-Ghazali terdapat dalam karyanya Ihya’ Ulumu al-Din Di dalam karyanya yang besar ini, Ihya’ Ulumu al-Din, beliau menulis tentang ilmu pendidikan. Disanalah beliau menuliskan berbagai ilmu menurut hukumnya, ada ilmu yang dihukumkan fardhu ‘ain, dan ilmu yang dihukumkan fardhu kifayah. Konsep pendidikan yang dikembangkan al-Ghazali mencakup lima aspek, yaitu aspek pendidikan jasmani,aspek pendidikan akhlak, pendidikan akal, dan aspek pendidikan sosial, yang kesemuanya harus ditanamkan pada anak sejak usia dini.












Daftar Pustaka

Afandi, Safuan, Ihya’ Ulumuddiin Al-Ghazali, Solo : Sendang Ilmu

Anwar, Chairul, 2007, Reformasi Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Fakta Pers, Bandar Lampung

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005, Filsafat Pendidikan Islam,  Jakarta: PT Ciputat Press Group Cet. Ke-2

Dunya, Sulaiman, 1971, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali, Kairo: Dar al-Ma’arif

Jalaluddin, dan Abdullah Idi, 2013, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Kurniawan, Samsul dan Erwin Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media

Mahmud, 2011, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia

Nata, Abuddin, 2001, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada

Nata, Abuddin, 1997,  Filsafat Pendidikan Islam Jilid I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu

Nizar, Samsul, MA, 2001, Pengantar Dasar-dasar Pmekiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama

Rahmani, Astuti, 2005, Membangkitkan Kesadaran Spiritual, Bandung : Pustaka Hidayah

Sibawaihi, 2004, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Yogyakarta: Islamika

Sulaiman, Fathiyah Hasan, 1986, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj oleh  Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, Jakarta : Guna Aksara




[1]Astuti Rahmani, 2005, Membangkitkan Kesadaran Spiritual, Bandung : Pustaka Hidayah, hal. 18
[2] Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Fakta Pers, Bandar Lampung, 2007, hlm.1
[3] Mahmud, 2011, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 244
[4]Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, Hal 87
[5]Sulaiman Dunya, 1971, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali, Kairo: Dar al-Ma’arif, hal. 91
[6]Sibawaihi, 2004, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Yogyakarta: Islamika, hal. 37
[7]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj oleh  Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, Jakarta : Guna Aksara, 1986, hal : 16, lihat juga al-Rasyidin dan Wahyudin nur Nasution, hal. 73
[8]Syamsul Kurniawan dan  Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 88
[9]Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, , Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal. 89
[10]Samsul Nizar, 2001. Pengantar Dasar-dasar Pmekiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 87
[11]Abuddin Nata. 2001, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, hal. 86
[12]Syamsul Kurniawan, dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, hal. 90
[13]Safuan Afandi, Ihya’ Ulumuddiin Al-Ghazali, Solo : Sendang Ilmu, hal. 31
[14]Samsul Nizar, 2001. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 87
[15]Jalaluddin, dan Abdullah Idi. 2013. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.72
[16]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 94
[17]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 88-91
[18]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 93
[19]Abudin Nata, 1997,  Filsafat Pendidikan Islam Jilid I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hal. 161
[20]Abuddin Nata, 2001. Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 95
[21]Abuddin Nata, 2001, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 96-97
[22]Syamsul Kurniawan, dan Erwin Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal. 93
[23]Abuddin Nata, 2001, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 97- 98
[24]Syamsul Kurniawan, dan Erwin Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hal. 92
[25]Abudin Nata, 1997,  Filsafat Pendidikan Islam Jilid I, hal. 161

2 komentar:

  1. Jangan Lupa Komen Untuk Perbaikan Blog dimasa Mendatang

    BalasHapus
  2. Casino site | Lucky Club Lucky Club
    Lucky Club offers the luckyclub.live best sports betting and casino games online, with exciting odds, a range of slots, and a range of table and live games.‎Events · ‎Promotions · ‎FAQ · ‎Overall reviews

    BalasHapus